Sabtu, 05 Januari 2008

Mengenal Dendeng Aceh Bungong Jaroe

Oleh Khairil Huda

Memanfaatkan cuaca panas guna mendapatkan dendeng berkualitas merupakan harapan bagi pengusaha dendeng Bungong Jaroe. Mesin pengolah dendeng yang sudah pernah keluar tidak dapat membantu mengolah dendeng secara keseluruhan. Dendeng dengan produksi tradisional kini semakin diminati.

“Mesin tak selamanya membantu manusia dalam produksi,” ungkap Mahdi Usman, salah satu pengusaha dendeng Aceh ‘Bungong Jaroe’.

Mahdi mengatakan, mengolah dendeng dengan menggunakan mesin tidak mendapatkan kualitas bermutu. Makanya, hingga kini kemampuan manusia yang berpengalaman untuk mengolah dendeng yang dicari dan sangat dibutuhkan.

Mengolah dendeng ini memiliki banyak proses, sedang paling utama adalah menyayat daging segar dengan tipis-tipis dan dalam proses ini sangat dibutuhkan keahlian khusus. Kini keahlian ini masih sangat jarang dan sangat susah mempelajarinya. “Walau sudah beberapa kali dilakukan pelatihan dan pembinaan, namun belum juga menghasilkan tenaga ahli,”jelasnya.

Di samping menyayat, proses selanjutnya membersihkan dan membumbui daging dengan bumbu-bumbu tradisional dan kemudian dijemur dengan bantuan sinar matahari. Sinar matahari yang terik sangat dibutuhkan untuk mengeringkan dendeng. Teriknya matahari ini dapat menjadikan dendeng kering dalam dua hari. Namun hingga kini belum ada mesin yang dapat mengeringkan dendeng yang berkualitas.

Sementara itu, proses terakhir dari pengolahan dendeng ini adalah packing. Untuk packing, Bungong Jaroe menggunakan beberapa lapis. Lapis pertama dengan menggunakan kertas ubi, kemudian dimasukkan ke kotak dan terakhir kotak dilapisi plastik kaca.

Dendeng yang menggunakan packing hanya dipasarkan kepada tamu-tamu yang datang ke Aceh atau dipasarkan keluar Aceh. Saat ini banyak orang asing yang berdatangan ke Aceh, sehingga menjadi salahsatu jalan untuk memasarkan dendeng lebih dikenal secara rasa kosumennya.

Pasar
Mahdi mengaku omzet penjualan pascatsunami cukup lumayan. Banyak dari konsumen yang datang langsung ke toko-tokonya di Jalan Teuku Umar No.149 Setui, Banda Aceh.

Selain itu, dendeng Bungong Jaroe milik Mahdi ini dititipkan di swalayan-swalayan ataupun di toko-toko souvenir. Untuk ini, Mahdi membutuhkan 1 ton daging segar untuk diolah menjadi dendeng setiap bulannya.

Dendeng Aceh Bungong Jaroe ini tidak hanya dipasarkan di Banda Aceh, namun bisa didapatkan di daerah lain, seperti di Lhoksoumawe, Biruen, Blang Pidie, Aceh Utara dan perluasannya hingga ke Kota Medan.

Sedangkan persaingan dendeng Bungong Jaroe tidak diragukan. Bisa dilihat di swalayan, produk ini lebih cepat habis dibanding dendeng lainnya. Sebab, kata mahdi, “Rasa dari dendeng ini ‘nano-nano’, manisnya sedikit, pedas ada, asinnya juga ada.”

Rasa ‘nano-nano’ dendeng ini ialah untuk menarik konsumen, karena konsumen dendeng banyak dari luar Aceh. “Jadi kita sedikitnya menyesuaikan dengan lidah heterogen suku yang ada di Indonesia,” tandasnya.

Untuk kadaluarsa, produk dendeng Aceh Bungong Jaroe cukup lama, bisa bertahan 3-6 bulan. Walau dendeng diolah tanpa bahan pengawet kimia, tapi mampu bertahan.

Pekerja
Keberadaan Bungong Jaroe membuka lahan kerja baru. Lihat saja, dari mulai produksi hingga memasarkan, pasti membutuhkan tenaga manusia. Dendeng Aceh yang tak kenal dengan sayatan mesin maupun pengeringan mesin, mengharuskan manusia menjadi tumpuan utama.

Mencari skill yang berkualitas untuk menjadikan dendeng yang bermutu saat ini masih sangat sulit dicari, walaupun dendeng Aceh sudah mempunyai penyayat jitu, tapi masih membutuhkan tenaga penyayat lagi yang benar-benar berkualitas. Hal ini juga untuk menambah jumlah tenaga kerja dan produksi.

“Selama ini kami hanya bisa membuat dendeng 40 Kg per hari, tapi kalau ada dua penyayat, tentu dapat memproduksi dendeng yang lebih,” katanya

Dendeng yang rencananya terus akan diluaskan pasarnya tampaknya menjadi keinginan Mahdi ke depan. (***)